Apakah
Berpolitik itu Tabu bagi Umat Buddha ?
Oleh:
Sepilut
Tentunya
dapat kita lihat bahwa sebagaian besar umat Buddha menarik diri dari kehidupan
politik, namun ada sebagaian kecil dan mungkin itu hanya beberapa orang yang
dapat di hitung dengan jari yang terlibat dalam kehidupan politik di negara
Indonesia ini. Mereka beranggapan bahwa politik itu berkuasa dan menindas kaum
yang lemah. Hal ini sangat bertolak belakang dengan ajaran Buddha tentang cinta
kasih yang universal terhadap semua mahkluk. Anggapan lain terhadap politik
bahwa sistem politik sebaik apapun, adil dan menjaga hak-hak asasi manusia,
tidak akan menimbulkan kedamaian, kebahagiaan dan kesejahteraan, apabila manusia-manusia
yang ada di dalam politik itu masih diliputi keserakahan, kebencian dan
kebodohan.
Sebelum
lebih dalam membahas tentang pilitik
dalam agama Buddha maka perlu kita ketahui apa arti kata politik itu sendiri.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, politik adalah pengetahuan mengenai
ketatanegaraan atau ke negaraan seperti pemerintahan, dan cara bertindak untuk
menghadapi atau menangani suatu masalah. Dari arti kata politik sendiri dapat
dijelaskan bahwa pilitik berhubungan dengan negara dan pemerintahan. Seharusnya
sebagai warga negara kita dapat ikut andil dalam kehidupan politik dengan
tujuan untuk menyejahterakan kehidupan masyarakat di negara ini, karena kita
juga ikut dalam bagian negara Indonesia ini.
Sang
Buddha sendiri merupakan seorang pangeran dari sebuah kerajaan Suku Sakya, dan
pada masa itu juga banyak kerajaan-kerajaan. Jadi, hidup sebagai manusia itu
tidak terlepas dari kehidupan politik. Politik yang diajarkan Sang Buddha
berbeda dengan politik-politik yang terjadi sekarang. Zaman Sang Buddha banyak
terdapat golongan kasta-kasta tertinggi hingga rendah dan itu harus
diperlakukan sebagaimana mestinya. Namun, Sang Buddha tidak menerapkan sistem
itu dan menerapkan hal yang sama kepada setiap orang, maka Sang Buddha tidak
mengutamakan kekuasaan melainkan kebersamaan.
Dalam
menyelesaikan masalah yang terjadi pada anggota Sangha ataupun pelanggaran
Dhamma dan Vinaya atau dalam bahasa sekarang dapat dikatakan sebagai aturan
hukum, Sang Buddha memberikan kebebasan kepada anggota Sangha untu
menyelesaikannya dengan musyawarah. Bukan dengan hukuman penjara, hukuman mati,
ataupun lainnya yang merugikan mahkluk lain. Hal ini menunjukkan bahwa Sang
Buddha menerapkan sistem demokrasi pada zaman itu. Sang Buddha juga menunjukkan
bahwa politiknya ketika Suku Sakya dan Suku Koliya berperang memperebutkan air
Sunga Rahini, Sang Buddha sendiri datang ke tengah-tengah peperangan dan
memberikan nasehat kepada ke dua suku untuk berdamai. Beliau mengatakan bahwa
maka yang menang akan menimbulkan kebencian, yang kalah akan hidup dalam
penderitaan, maka untuk mendapatkan kedamaian seharusnya melepaskan kemenangan
maupun kekalahan itu sendiri.
Sang
Buddha menjelaskan pentingnya suatu pemerintahan yang baik. Negara akan menjadi
negara korupsi, merosot nilainya, dan tidak bahagia ketika kepala
pemerintahannya menjadi korup dan tidak adil. Maka negara yang baik ditentukan
oleh manusia-manusia di dalamnya. Ketika kepala pemerintahan itu bersikap baik
dan adil, maka para menteri-menterinya akan bersikap baik dan adil, ketika
menteri-menterinya bersikap baik dan adil, maka pejabat tinggi akan bersikap
baik dan adil, maka rakyat akan bertindak baik dan adil. Kemerosotan moral
seperti mencuri, pemalsuan, kekerasan, kebencian, kekejaman akan menyebabkan
kemiskinan materi maupun kebaikan.
Dari
beberapa bukti bahwa Sang Buddha mengajarkan tentang politik di kehidupan pada
waktu itu, maka sebenarnya umat Buddha boleh untuk berpolitik namun politik
yang sesuai dengan yang diajarkan oleh Sang Buddha. Sang Buddha merupakan raja
politik yang tidak ada tandingannya. Sang Buddha merupakan raja bagi dewa dan
manusia, dewa saja berguru dengan Sang Buddha, apalagi manusia yang
keberadaannya di bawah dewa. Ini merupakan suatu politik yang tersirat bukan
tersurat dalam agama Buddha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar