Selasa, 20 Januari 2015

Puisi



Aku Adalah Aku
Aku lahir karena aku
Aku sakit karena aku
Aku mati karena aku
Aku bodoh karena aku
Aku pintar karena aku
Aku miskin karena aku
Aku kaya karena aku
Aku rugi karena aku
Aku untung karena aku
Aku adalah tuhan bagi diriku
Aku menciptakan diriku
Aku dihukum oleh diriku
Jangan kau mengaturku
Karena kau bukan tuhanku
Urusi urusanmu
Aku adalah tuhan

Jumat, 16 Januari 2015

Mahasiswa kok gitu sih



Ngurus diri sendiri aja belum bisa, kok malah di suruh mikirin negara???
Oleh: Sepilut
Apakah Anda juga memiliki pendapat dengan kata-kata diatas? Mungkin sebagian orang memiliki pendapat yang sama tentang pernyataan tersebut. Dengan pernyataan yang semacam ini menimbulkan pertanyaan yang besar, mengapa bisa memiliki pandangan yang semacam itu. Rata-rata kalimat itu diucapkan oleh seorang mahasiswa. Pernyataan “Ngurus diri sendiri aja belum bisa”, perlu diteliti ulang bahwa sebagai mahasiswa masih minta orang tua, apalagi yang mau di urus, tugas kuliah memang sudah menjadi kewajiban sebagai mahasiswa. Pada intinya bisa urus diri sendiri atau tidak itu dikembalikan ke masing-masing orang.
Pernyataan ini dikaitkan dengan organisasi kemasyarakatan pemuda. Organisasi ini merupakan kumpulan dari mahasiswa-mahasiswi yang bergerak dibidang politik dan sosial. Tujuan organisasi pemuda adalah sebagai sosial control kinerja pemerintah, agar tidak melenceng dari cita-cita bangsa serta Pancasila dan UUD 1945. Dalam organisasi ini tidak diajarkan untuk menjadi orang yang berkecipung dalam dunia politik, namun bagaimana menjadi seorang pemimpin yang baik. Tugas organisasi kepemudaan sebagai sosial control, maka mau tidak mau harus mengkritisi persoalan-persoalan yang ada di pemerintahan.
Mahasiswa disini adalah yang menjembatani antara rakyat dengan pemerintahan. Peran mahasiswa sangat diperlukan dalam memperbaiki pemerintahan di negara Indonesia yang sudah carut marut. Rakyat kecil yang tidak tahu akan jalannya pemerintahan dan membuat mereka  semakin tertindas, maka siapa lagi yang akan membantu mereka kalau bukan mahasiswa. Wakil-wakil yang mereka pilih hanya duduk dikursi mewah di Senayan, dan sering bentrok dengan sesama wakil rakyat. Sungguh pemandangan yang sangat mengenaskan, apabila sebagai mahasiswa tidak tergerak hatinya untuk turun tangan mengatasi masalah tersebut.
Sebagai mahasiswa jangan hanya menikmati zona nyaman, yaitu kuliah, makan, tidur, dan belajar. Apabila pekerjaannya hanya seperti ini tidak akan membuka pikiran kita untuk melihat keadaan diluaran. Pikiran kita akan tertutup dan mata kita pun akan tertutup tidak akan pernah melihat masa depan yang menuju perubahan. Zona aman yang terlalu menyenangkan akan membuat abadi kita abadi di zona itu. Maka diharapkan sebagai mahasiswa organisasi kepemudaan bukan mengurusi negara, karena negara sudah ada yang mengurus, kita hanya sebagai sosial control.

Jumat, 09 Januari 2015

Kampung Baduy



IMG20141225134253.jpgIMG20141225142846.jpgWisata Budaya Kampung Baduy

Organisasi Himpunan Mahasiswa Buddhis atau di singkat dengan HIKMAHBUDHI Pengurung Cabang Kota Tangerang mengadakan kegiatan Wisata Budaya Kampung Baduy. Wisata ini diikuti oleh anggota HIKMAHBUDHI dari PC. Jakarta, Presidium Pusat, PC. Kota Tangerang, PC. Tangerang Selatan, serta umat Buddha lainnya. Kegiatan wisata budaya kampung Baduy diadakan tanggal 25 Desember 2014, dengan jumlah peserta 90 orang. Transportasinya menggunakan 3 mini bus, 2 mobil APV, dan 2 mobil pribadi. Keberangkatannya di mulai dari Kampus Buddhi pukul 06.30 WIB.
Perjalanan ditempuh kurang lebih lima jam, karena kondisi jalan yang rusak, naik turun, dan berliku-liku. Perjalanan sangat melelahkan, mobil yang tidak nyaman karena sesak dan panas. Namun tetap semangat karena ini merupakan pengalam pertama untuk mengunjungi suku terasing yang ada di Indonesia. Perjalannya masih seperti di hutan-hutan, banyak pohon, dan tepi jalan jurang, sungguh menyeramkan jalannya.
Tiba di tempat parkiran mobil tepat jam 12.00 WIB. Pembagian kelompok, pembagian makan siang, dan istirahat. Perjalanan selanjutnya dilanjutkan dengan jalan kaki, karena memang suku Baduy ini dipedalaman dan di tengah-tengah hutan. Perjalanan dipimpin oleh tiga orang pemandu. Jalannya masih tanah dengan batu. Jalannya naik turun, namun sangat sejuk karena masih banyak pohon-pohon yang besar. Air di kampung baduy ini sangat jernih.
Perjalanan ke kampung baduy hanya sampai di Baduy luar, karena jika di Baduy dalam harus menginap disana, dan tidak boleh membawa handphone maupun peralatan mandi atau benda-benda yang di kampung Baduy itu tidak ada. Kampung pertama di Baduy terlewati, penduduknya rata-rata yang perempuan menenun, dan laki-laki bercocok tanam. Pakaian mereka identik dengan warna biru dan hampir mirip seperi kebaya. Model pakaian orang dewasa maupun anak kecil sama. Rumah mereka dindingnya terbuat dari anyaman bambu, atapnya menggunakan daun enau, dan dibuat rumah panggung namun tidak tinggi. Rumah yang satu dengan yang lain berdekatan. Yang luar biasa dari kampung baduy adalah walaupun mereka menutup diri dari perkembangan zaman, tapi mereka sangat menjaga kebersihan lingkungan, disekitar rumah mereka tidak ada sampah sama sekali. Mereka kurang ramah dengan pengunjung, kalau ada pengunjung mereka buru-buru masuk kerumah.
Kampung kedua sudah terlewati, dan sekarang menuju kampung ketiga namanya kampung Gasebo. Ini adalah kampung terakhir suku Baduy luar dan menjadi perbatasan antara Baduy luar dan Baduy dalam. Kampung ini dibatasi oleh sungai, untuk menghubungkan antara Baduy luar dan Baduy dalam sebuah jembatan yang terbuat dari bambu. Pengunjung boleh melewati jembatan itu namun hanya sampai diseberang sungai dan tidak boleh masuk ke dalam hutan lagi karena itu sudah termasuk Baduy dalam. Pengunjung juga tidak boleh mandi di dekat jembatan. Penduduk kampung Baduy luar hanya boleh mandi sebelum jembatan. Rumah diseberang sungai kecil-kecil namun banyak.
Waktu sudah semakin sore, dan rombongan kembali ke tempat parkiran kendaraan. Wisata mesti tidak terlepas dari yang namanya belanja-belanja souvenir. Souvenir dari kampung baduy adalah kain tenun, gelang dari kulit kayu, kalung dari kulit kayu, gantungan kunci dan lain-lain. Banyak juga yang menjual madu dan durian, karena madu dan durian adalah hasil pertanian orang-orang kampung Baduy. Setelah puas dengan wisata belanja kembali ke mobil masing-masing dan melanjut perjalanan ke Tangerang. Sampai di Tangerang pukul 20.30 Wib. Perjalanan ini sangat melelahkan, namun menyenangkan karena dapat bertemu langsung dengan orang-orang Baduy dan tentu saja tidak semua orang memiliki kesempatan untuk pergi ke kampung Baduy.

Pertemuan Budaya Lokal dan Agama



Peringatan Kematian Adat Jawa Dipandang dari Segi Agama
Oleh: Sepilut
Setelah mengalami kehidupan pasti tidak terlepas dari kematian. Kematian adalah akhir dari kehidupan, ketiadaan nyawa, dalam organisme biologis. Semua makhluk hidup akan mati, baik karena penyebab alami seperti penyakit, atau karena penyebab tidak alami seperti kecelakaan. Pada dasarnya kehidupan itu tidak ada yang kekal, itu merupakan hukum alam yang terjadi pada mahkluk yang pernah mengalami kehidupan.
Setelah kematian, sebagai keluarga tentunya memberikan doa kepada yang telah meninggal agar dalam kehidupan yang selanjutnya menemukan kebahagian. Dalam tradisi orang Jawa dikenal dengan istilah sedekah dengan perhitungan hari nelung dina, pitung dina, patang puluh dina, nyatus, mendak pisan, mendak pinda, dan nyewu, merupakan peringatan kematian orang yang telah meninggal. Tradisi ini dilakukan secara turun temurun, karena tradisi ini merupakan warisan dari nenek moyang. Anggapan orang Jawa, jika tradisi ini tidak dilakukan menyebabkan arwah nenek moyang akan marah dan memberikan kutukan kepada masyarakat apabila tidak melaksanakan slametan. Maka, tradisi ini harus dilakukan dan  di lestarikan dan ini merupakan budaya lokal bagi orang Jawa.
Dalam tradisi peringatan kematian ini biasa dinamakan selametan atau sedekah. Selametan diadakan di rumah orang yang telah meninggal, tujuannya adalah memberikan doa kepada orang yang telah meninggal dan orang yang ditinggalkan agar selalu diberikan keselamatan. Selametan upacara kematian atau sedekah meliputi sedekah nelung dina yaitu dilakukan setelah tiga hari kematian, mitung dina yaitu setelah tujuh hari kematian, sedekah matang puluh dina yaitu peringatan kematian setelah empat puluh hari, sedekah nyatus atau seratus harinya, sedekah mendak pisan atau peringatan setahun setelah kematian, mendak pinda atau peringatan dua tahun setelah kematian. Peringatan sedekah yang terakhir dinamakan sedekah nyewu atau peringatan seribu hari setelah kematian atau biasa disebut nguwisi-nguwisi, karena ini merupakan peringatan yang terakhir.
Ritual selametan ini ada acara yang dinamakan kenduri atau kondangan. Kondangan merupakan perjamuan makanan untuk memperingati peristiwa, meminta keselamatan, dan pembacaan doa yang dipimpin oleh seorang modin. Kondangan ini biasa disertai dengan membakar kemenyan atau dupa. Selain itu ada beberapa makanan yang dihidangkan bagi peserta kondangan yang disebut berkat. Berkat ini biasanya ditaruh dalam ceting yang isinya ada nasi, ikan, mie, telur dan ayam. Berkat ini dibagikan kepada peserta selametan sebagai ucapan terima kasih karena telah mendoakan keluarga yang mengadakan selametan maupun orang yang telah meninggal.
Tidak hanya melaksanakan kondangan pada saat peringatan kematian, namun ada juga penyiapan sesajen atau biasa di sebut among. Among adalah persembahan makanan bagi leluhur yang telah meninggal. Makanan ini berupa nasi, ikan, atau makanan yang biasa di sukai oleh leluhur, kopi pahit dan air putih yang ditaruh dalam kendi serta bunga yang dinamakan kembang mboreh. Orang Jawa mempercayai bahwa pada peringatan kematian atau sedekah, arwah orang yang meninggal ini akan pulang ke rumah dan meminta makan, maka harus disiapkan makanan.
Seiring dengan majunya kehidupan agama dalam kehidupan masyarakat Jawa, tradisi peringatan kematian ini dihubungankan dengan agama. Agama memang berpengaruh, karena dalam ritual selametan ini dengan membacakan doa sesuai dengan agama yang diyakini pihak keluarga dan almarhum/almarhumah. Dengan mengetahui tradisi yang biasa dilakukan oleh orang Jawa mengenai peringatan kematian, memberikan pengertian kepada masyarakat luas bahwa orang yang telah meninggal itu perlu diingat, dan selalu di doakan agar mereka dapat menjalani kehidupan selanjutnya dengan bahagia.
Orang yang telah meninggal itu jasmaninya lah yang telah hancur, namun jiwanya itu masih tetap ada. Pandangan ini tentu dipercayai oleh semua agama. Dalam agama Buddha percaya bahwa orang yang telah meninggal akan terlahir di kehidupan selanjutnya entah itu menjadi hewan, setan, manusia, ataupun di alam surga. Agama Islam dan Kristen percaya bahwa ada dua alam setelah kematian yaitu surga dan neraka. Sebagai keluarga yang telah ditinggalkan pada kehidupannya sekarang, maka perlu memperingati hari-hari kematian untuk memberikan penghormatan serta mendoakan agar para almarhum maupun almarhumah dapat menjalani kehidupan yang lebih bahagia di alamnya masing-masing. Tentu tradisi yang dilakukan oleh orang Jawa ini sangat baik, dan perlu dilestarikan agar tradisi ini tidak punah di masa yang akan datang.
Dalam pandangan berbagai agama tentang peringatan hari kematian sangat berbeda-beda. Agama Buddha sangat mendukung adanya peringatan hari kematian, karena ini merupakan bentuk penghormatan bagi leluhur, dan mengkondisikan mereka dapat terlahir di alam yang lebih bahagia. Sedangkan agama Islam sangat menentang tradisi ini, karena dalam Kitab Suci Al-Quran tidak dituliskan tentang peringatan kematian, dan tradisi ini bukan merupakan ajaran kebenaran melainkan ajaran kebatilan. Setiap agama tentu punya pedoman dan alasan masing-masing dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Maka itu perlu kaji lebih dalam mengenai pandangan hari peringatan kematian dari setiap masing-masing agama.
Agama Buddha merupakan agama yang tertua di Indonesia, dan agama yang paling sedikit atau minoritas di Indonesia. Namun ajaran Sang Buddha sangat erat kaitannya dengan tradisi orang Jawa, khususnya peringatan hari kematian. Dalam agama Buddha memperingati kematian dinamakan pattidana atau pelimpahan jasa. Pelimpahan jasa adalah melakukan suatu perbuatan baik atas nama orang yang telah meninggal yang akan di tolong. Pelimpahan jasa ini dilakukan dengan mengundang rekan-rekan maupun kerabat alamarhum/almarhumah untuk membacakan paritta. Kemudian mempersembahkan makanan dan minuman kepada orang-orang yang telah membacakan paritta atas nama almarhum/almarhumah. Pelimpahan jasa juga dapat mengundang para bhikkhu, dan mempersembahkan makanan, minuman serta jubah, kemudian melakukan pelimpahan jasa atas nama almarhum/almarhumah. Pelimpahan jasa ini tidak harus dilaksanakan pada saat hari-hari yang ditentukan, namun bisa dilakukan setiap saat dengan merenungkan segala kebajikan yang diperoleh yang ditujukan kepada para leluhur agar mereka dapat mengingat perbuatan baik mereka sehingga mereka dapat terlahir di alam yang lebih bahagia.
Ada dua cerita yang melatarbelakangi adanya pattidana atau pelimpahan jasa dalam agama Buddha. Yang pertama adalah cerita dari Bhikkhu Moggalana yang menjadi siswa utama Sang Buddha, beliau bermeditasi melihat ke segenap alam untuk melihat ibunya, kemudian beliau melihat ibunya di alam setan kelaparan dengan kondisi yang menyedihkan kurus kering dan telanjang bulat. Beliau menolong ibunya dengan mencoba memberikan makanan dan minuman, namun itu malah menambah penderitaan ibunya. Akhirnya beliau bertanya kepada Sang Buddha mengenai hal ini, kemudian Sang Buddha menjawab untuk menolong makhluk yang seperti ini hendaknya orang melakukannya dengan melakukan pelimpahan jasa. Sang Buddha menyarankan untuk memberikan persembahan jubah dan dana makanan kepada para Bhikkhu Sangha atas nama ibunya, dan Bhikkhu Moggalana melaksanakan nasehat Sang Buddha melakukan pelimpahan jasa atas nama ibunya. Setelah melakukan pelimpahan jasa, beliau bermeditasi untuk melihat keadaan ibunya  dan beliau melihat ibunya sekarang lebih baik dari yang sebelumnya kelihatan segar dan memakai pakaian bagus, rapi, dan bersih.
Cerita kedua berasal dari seorang raja bernama Bimbisara. Raja Bimbisara ini orang nya sangat baik, sering berdana makanan, maupun mempersembahkan  jubah kepada Sangha, namun beliau tidak pernah melakukan pelimpahan jasa kepada para leluhurnya. Pada suatu malam raja Bimbisara memperoleh banyak gangguan dari makhluk halus, beliau mendengar jeritan dan tangisan yang membuat beliau tidak dapat tidur semalaman. Keesokan harinya raja Bimbisara pergi ke vihara untuk menemui sang Buddha dan bertanya tentang kejadian yang dialaminya yang telah diganggu oleh makhluk halus padahal dia sering melakukan perbuatan baik. Sang Buddha menjelaskan bahwa makhluk halus yang mengganggunya merupakan sanak keluarganya di kehidupan lalu, karena mereka telah melakukan kesalahan maka mereka terlahir di alam menderita setan kelaparan. Sang Buddha menyarankan agar raja Bimbisara mengundang para bhikkhu Sangha untuk datang ke istana, dan membacakan paritta untuk para leluhur, dan raja mempersembahkan dana makanan serta mempersembahkan jubah kepada para bhikkhu Sangha atas nama leluhurnya yang telah lama menderita karena kelaparan. Raja Bimbisara melaksanakan nasehat dari Sang Buddha. Para makhluk yang menderita itu merasakan kebahagiaan yang luar biasa, kebahagiaan inilah yang menyebabkan mereka mati dari alam menderita dan terlahir kembali di alam bahagia.
Dari cerita kisah tersebut maka Sang Buddha membabarkan Tirokuddha Sutta. Sang Buddha bersabda bahwa di dinding-dinding, di gerbang-gerbang, dipersimpangan-persimpangan jalan, banyak sanak keluarga yang terlahir di alam menderita menunggu kebaikan hati keluarganya. Mereka menanti pelimpahan jasa dengan penuh kesedihan. Sanak keluarga dapat menolong mereka dengan melakukan pelimpahan jasa kepada para leluhur, mengingat kebajikan yang telah dilakukan, mempersembahkan makanan dan minuman kepada mereka. Walaupun mereka tidak dapat makan dan minum secara langsung, namun itu sebagi bentuk penghormatan kepada mereka.
Tradisi peringatan kematian bagi umat Muslim di Jawa masih dilakukan. Namun ada beberapa orang yang melarang tradisi peringatan kematian tersebut. Tentu ada alasan yang mendasari mengapa kegiatan peringatan kematian tidak boleh dilakukan. Ritual keagamaan di dalam masyarakat muslim ketika terjadi kematian dengan menyelenggarakan selametan kematian/kenduri kematian/tahlilan/yasinan di hari ke pertama kematian, 3, 40, 100, dan 1000 harinya merupakan bukan amalan dari Al Quran, Hadits (sunah rasul) dan Ijma Sahabat, melainkan itu merupakan ajaran agama Hindu. Mereka menjelaskan bahwa awalnya ritual peringatan kematian merupakan berasal dari ajaran agama Hindu, dan orang Islam pada zaman dahulu memasukkan ajaran-ajaran Islam dicampur dalam ritual ini dengan menyusun rangkaian wirid-wirid dan doa-doa serta pembacaan Surat Yasin kepada orang yang telah meninggal pada saat setelah hari kematian hari ke-3, 7, 40, 100, 1000 hari hingga setiap hari kematiannya diperingati, hal ini tidak pernah di ajarkan oleh para Nabi. Pandangan mereka bahwa umat Muslim telah mencampur adukan ajaran agama Islam dengan agama Hindu.
Dalam Lughotul Hadits, mereka memaknainya bahwa para sahabat, sanak keluarga berkumpul di rumah ahli mayit (rumah duka) dan membuatkan makanan dan mereka makan secara bersama-sama (selametan kenduri) termasuk dari bagian meratap. Dalam ajaran Islam meratap terhadap orang yang telah meninggal merupakan dosa besar dan haram hukumnya. Apabila keluarga orang yang meninggal membuat makanan untuk orang banyak maka itu satu hal yang dibenci (haram), karena akan menambah kekusahan diatas musibah mereka dan menyibukkan mereka diatas kesibukkan mereka. Dalam Hadits Jarir oleh Syaikh Ahmad Abdurrahman Al-Banna diakhir syarahnya menjelaskan bahwa orang yang berkumpul di rumah duka dengan alasan ta’ziyah dan menyediakan makanan yang banyak untuk mereka merupakan pemborosan harta dan itu menambah musibah bagi mereka yang di tinggalkan. Hal yang diseharusnya dilakukan adalah para penta’ziah ini membawa makanan untuk mereka sehingga mengenyangkan mereka.
Dari ajaran kedua agama Buddha dan agama Islam sangat bertolak belakang. Bila dihubungkan dengan tradisi peringatan kematian di Jawa setelah kematian, dalam agama Buddha sangat mendukung peringatan itu dengan memberikan persembahan makanan kepada sanak keluarga dan kerabat yang telah datang untuk berdoa bersama, dan kebajikan dipersembahkan atas nama almarhum dengan tujuan agar almarhum dapat terlahir di alam yang bahagia. Namun sebaliknya dalam ajaran agama Islam bahwa orang-orang yang datang untuk mendoakan almarhum, dan pihak keluarga mempersembahkan makanan dan minuman justru itu di haramkan karena meyusahkan dan pemborosan harta. Justru yang disarankan adalah orang yang datang kerumah duka dengan membawa makanan bagi mereka.
Tradisi lokal merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat, namun apabila tradisi tersebut dikaitkan dengan agama atau keyakinan yang dipercayai masyarakat daerah itu, apabila tradisi itu tidak sesuai dengan ajaran agama yang diyakini maka lama-lama tradisi itu akan bergeser ataupun akan hilang. Tradisi lokal adalah salah satu identitas sebuah masyarakat, apabila tradisi ini hilang, maka identitas budaya lokal pun akan punah. Seharusnya agama dan budaya tidak dicampur adukan, agama dan budaya merupakan hal yang berbeda namun dapat di hubungkan. Apabila budaya tidak dapat menyatu dengan agama, maka tidak harus memaksakan menyatukan atau meniadakan suatu budaya itu. Nenek moyang lebih tahu tentang budaya yang mereka ciptakan, budaya bukan hanya sekedar kebiasaan, namun itu pasti memiliki makna tertentu dan itu perlu dilestarikan.

Referensi
Herly, Deny Novi. 2014. “ ACARA/RITUAL PERINGATAN KEMATIAN 7, 40, 100, 1000 HARI. Diakses di https://www.facebook.com/notes/deny-novi-herly/acara-ritual-peringatan-kematian-7-40-100-1000-hari-dst/298158193686812 pada hari Jumat tanggal 9 Januari 2015 pukul 11.15 WIB
Uttamo. 2008. “ Manfaat Pelimpahan Jasa ”. diakses di www.samaggi-phala.or.id/dok/dhamma3_8.doc pada hari Jumat tanggal 9 Januari 2015 pukul 11.02 WIB