Peringatan
Kematian Adat Jawa Dipandang dari Segi Agama
Oleh: Sepilut
Setelah
mengalami kehidupan pasti tidak terlepas dari kematian. Kematian adalah akhir
dari kehidupan, ketiadaan nyawa, dalam organisme biologis. Semua makhluk hidup
akan mati, baik karena penyebab alami seperti penyakit, atau karena penyebab
tidak alami seperti kecelakaan. Pada dasarnya kehidupan itu tidak ada yang kekal,
itu merupakan hukum alam yang terjadi pada mahkluk yang pernah mengalami
kehidupan.
Setelah
kematian, sebagai keluarga tentunya memberikan doa kepada yang telah meninggal
agar dalam kehidupan yang selanjutnya menemukan kebahagian. Dalam tradisi orang
Jawa dikenal dengan istilah sedekah
dengan perhitungan hari nelung dina,
pitung dina, patang puluh dina, nyatus, mendak pisan, mendak pinda, dan nyewu,
merupakan peringatan kematian orang yang telah meninggal. Tradisi ini dilakukan
secara turun temurun, karena tradisi ini merupakan warisan dari nenek moyang. Anggapan
orang Jawa, jika tradisi ini tidak dilakukan menyebabkan arwah nenek moyang
akan marah dan memberikan kutukan kepada masyarakat apabila tidak melaksanakan
slametan. Maka, tradisi ini harus dilakukan dan
di lestarikan dan ini merupakan budaya lokal bagi orang Jawa.
Dalam
tradisi peringatan kematian ini biasa dinamakan selametan atau sedekah. Selametan diadakan di rumah orang yang
telah meninggal, tujuannya adalah memberikan doa kepada orang yang telah
meninggal dan orang yang ditinggalkan agar selalu diberikan keselamatan. Selametan upacara kematian atau sedekah meliputi sedekah nelung dina yaitu dilakukan setelah tiga hari kematian, mitung dina yaitu setelah tujuh hari
kematian, sedekah matang puluh dina
yaitu peringatan kematian setelah empat puluh hari, sedekah nyatus atau seratus harinya, sedekah mendak pisan atau peringatan setahun setelah kematian, mendak pinda atau peringatan dua tahun
setelah kematian. Peringatan sedekah yang terakhir dinamakan sedekah nyewu atau peringatan seribu
hari setelah kematian atau biasa disebut nguwisi-nguwisi,
karena ini merupakan peringatan yang terakhir.
Ritual
selametan ini ada acara yang
dinamakan kenduri atau kondangan. Kondangan merupakan perjamuan makanan untuk memperingati peristiwa,
meminta keselamatan, dan pembacaan doa yang dipimpin oleh seorang modin. Kondangan ini biasa disertai
dengan membakar kemenyan atau dupa. Selain itu ada beberapa makanan yang
dihidangkan bagi peserta kondangan
yang disebut berkat. Berkat ini biasanya ditaruh dalam ceting yang isinya ada nasi, ikan, mie,
telur dan ayam. Berkat ini dibagikan
kepada peserta selametan sebagai
ucapan terima kasih karena telah mendoakan keluarga yang mengadakan selametan maupun orang yang telah
meninggal.
Tidak
hanya melaksanakan kondangan pada
saat peringatan kematian, namun ada juga penyiapan sesajen atau biasa di sebut among.
Among adalah persembahan makanan bagi
leluhur yang telah meninggal. Makanan ini berupa nasi, ikan, atau makanan yang
biasa di sukai oleh leluhur, kopi pahit dan air putih yang ditaruh dalam kendi serta bunga yang dinamakan kembang mboreh. Orang Jawa mempercayai
bahwa pada peringatan kematian atau sedekah,
arwah orang yang meninggal ini akan pulang ke rumah dan meminta makan, maka harus
disiapkan makanan.
Seiring
dengan majunya kehidupan agama dalam kehidupan masyarakat Jawa, tradisi peringatan
kematian ini dihubungankan dengan agama. Agama memang berpengaruh, karena dalam
ritual selametan ini dengan
membacakan doa sesuai dengan agama yang diyakini pihak keluarga dan almarhum/almarhumah.
Dengan mengetahui tradisi yang biasa dilakukan oleh orang Jawa mengenai
peringatan kematian, memberikan pengertian kepada masyarakat luas bahwa orang
yang telah meninggal itu perlu diingat, dan selalu di doakan agar mereka dapat
menjalani kehidupan selanjutnya dengan bahagia.
Orang
yang telah meninggal itu jasmaninya lah yang telah hancur, namun jiwanya itu
masih tetap ada. Pandangan ini tentu dipercayai oleh semua agama. Dalam agama
Buddha percaya bahwa orang yang telah meninggal akan terlahir di kehidupan
selanjutnya entah itu menjadi hewan, setan, manusia, ataupun di alam surga. Agama
Islam dan Kristen percaya bahwa ada dua alam setelah kematian yaitu surga dan
neraka. Sebagai keluarga yang telah ditinggalkan pada kehidupannya sekarang,
maka perlu memperingati hari-hari kematian untuk memberikan penghormatan serta
mendoakan agar para almarhum maupun almarhumah dapat menjalani kehidupan yang
lebih bahagia di alamnya masing-masing. Tentu tradisi yang dilakukan oleh orang
Jawa ini sangat baik, dan perlu dilestarikan agar tradisi ini tidak punah di
masa yang akan datang.
Dalam
pandangan berbagai agama tentang peringatan hari kematian sangat berbeda-beda.
Agama Buddha sangat mendukung adanya peringatan hari kematian, karena ini
merupakan bentuk penghormatan bagi leluhur, dan mengkondisikan mereka dapat
terlahir di alam yang lebih bahagia. Sedangkan agama Islam sangat menentang
tradisi ini, karena dalam Kitab Suci Al-Quran
tidak dituliskan tentang peringatan kematian, dan tradisi ini bukan merupakan
ajaran kebenaran melainkan ajaran kebatilan. Setiap agama tentu punya pedoman
dan alasan masing-masing dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Maka itu
perlu kaji lebih dalam mengenai pandangan hari peringatan kematian dari setiap
masing-masing agama.
Agama
Buddha merupakan agama yang tertua di Indonesia, dan agama yang paling sedikit
atau minoritas di Indonesia. Namun ajaran Sang Buddha sangat erat kaitannya
dengan tradisi orang Jawa, khususnya peringatan hari kematian. Dalam agama
Buddha memperingati kematian dinamakan pattidana
atau pelimpahan jasa. Pelimpahan jasa adalah melakukan suatu perbuatan baik atas
nama orang yang telah meninggal yang akan di tolong. Pelimpahan jasa ini
dilakukan dengan mengundang rekan-rekan maupun kerabat alamarhum/almarhumah
untuk membacakan paritta. Kemudian
mempersembahkan makanan dan minuman kepada orang-orang yang telah membacakan paritta atas nama almarhum/almarhumah. Pelimpahan
jasa juga dapat mengundang para bhikkhu, dan mempersembahkan makanan, minuman
serta jubah, kemudian melakukan pelimpahan jasa atas nama almarhum/almarhumah.
Pelimpahan jasa ini tidak harus dilaksanakan pada saat hari-hari yang
ditentukan, namun bisa dilakukan setiap saat dengan merenungkan segala
kebajikan yang diperoleh yang ditujukan kepada para leluhur agar mereka dapat
mengingat perbuatan baik mereka sehingga mereka dapat terlahir di alam yang
lebih bahagia.
Ada
dua cerita yang melatarbelakangi adanya pattidana
atau pelimpahan jasa dalam agama Buddha. Yang pertama adalah cerita dari
Bhikkhu Moggalana yang menjadi siswa utama Sang Buddha, beliau bermeditasi
melihat ke segenap alam untuk melihat ibunya, kemudian beliau melihat ibunya di
alam setan kelaparan dengan kondisi yang menyedihkan kurus kering dan telanjang
bulat. Beliau menolong ibunya dengan mencoba memberikan makanan dan minuman,
namun itu malah menambah penderitaan ibunya. Akhirnya beliau bertanya kepada
Sang Buddha mengenai hal ini, kemudian Sang Buddha menjawab untuk menolong
makhluk yang seperti ini hendaknya orang melakukannya dengan melakukan
pelimpahan jasa. Sang Buddha menyarankan untuk memberikan persembahan jubah dan
dana makanan kepada para Bhikkhu Sangha atas nama ibunya, dan Bhikkhu Moggalana
melaksanakan nasehat Sang Buddha melakukan pelimpahan jasa atas nama ibunya.
Setelah melakukan pelimpahan jasa, beliau bermeditasi untuk melihat keadaan
ibunya dan beliau melihat ibunya
sekarang lebih baik dari yang sebelumnya kelihatan segar dan memakai pakaian
bagus, rapi, dan bersih.
Cerita
kedua berasal dari seorang raja bernama Bimbisara. Raja Bimbisara ini orang nya
sangat baik, sering berdana makanan, maupun mempersembahkan jubah kepada Sangha, namun beliau tidak
pernah melakukan pelimpahan jasa kepada para leluhurnya. Pada suatu malam raja
Bimbisara memperoleh banyak gangguan dari makhluk halus, beliau mendengar
jeritan dan tangisan yang membuat beliau tidak dapat tidur semalaman. Keesokan
harinya raja Bimbisara pergi ke vihara untuk menemui sang Buddha dan bertanya
tentang kejadian yang dialaminya yang telah diganggu oleh makhluk halus padahal
dia sering melakukan perbuatan baik. Sang Buddha menjelaskan bahwa makhluk
halus yang mengganggunya merupakan sanak keluarganya di kehidupan lalu, karena
mereka telah melakukan kesalahan maka mereka terlahir di alam menderita setan
kelaparan. Sang Buddha menyarankan agar raja Bimbisara mengundang para bhikkhu
Sangha untuk datang ke istana, dan membacakan paritta untuk para leluhur, dan raja mempersembahkan dana makanan
serta mempersembahkan jubah kepada para bhikkhu Sangha atas nama leluhurnya
yang telah lama menderita karena kelaparan. Raja Bimbisara melaksanakan nasehat
dari Sang Buddha. Para makhluk yang menderita itu merasakan kebahagiaan yang
luar biasa, kebahagiaan inilah yang menyebabkan mereka mati dari alam menderita
dan terlahir kembali di alam bahagia.
Dari
cerita kisah tersebut maka Sang Buddha membabarkan Tirokuddha Sutta. Sang Buddha bersabda bahwa di dinding-dinding, di
gerbang-gerbang, dipersimpangan-persimpangan jalan, banyak sanak keluarga yang
terlahir di alam menderita menunggu kebaikan hati keluarganya. Mereka menanti
pelimpahan jasa dengan penuh kesedihan. Sanak keluarga dapat menolong mereka
dengan melakukan pelimpahan jasa kepada para leluhur, mengingat kebajikan yang
telah dilakukan, mempersembahkan makanan dan minuman kepada mereka. Walaupun
mereka tidak dapat makan dan minum secara langsung, namun itu sebagi bentuk
penghormatan kepada mereka.
Tradisi
peringatan kematian bagi umat Muslim di Jawa masih dilakukan. Namun ada
beberapa orang yang melarang tradisi peringatan kematian tersebut. Tentu ada
alasan yang mendasari mengapa kegiatan peringatan kematian tidak boleh
dilakukan. Ritual keagamaan di dalam masyarakat muslim ketika terjadi kematian
dengan menyelenggarakan selametan
kematian/kenduri kematian/tahlilan/yasinan di hari ke pertama kematian, 3, 40, 100, dan 1000 harinya
merupakan bukan amalan dari Al Quran,
Hadits (sunah rasul) dan Ijma Sahabat, melainkan itu merupakan ajaran agama
Hindu. Mereka menjelaskan bahwa awalnya ritual peringatan kematian merupakan
berasal dari ajaran agama Hindu, dan orang Islam pada zaman dahulu memasukkan
ajaran-ajaran Islam dicampur dalam ritual ini dengan menyusun rangkaian wirid-wirid dan doa-doa serta pembacaan Surat Yasin kepada orang yang telah
meninggal pada saat setelah hari kematian hari ke-3, 7, 40, 100, 1000 hari
hingga setiap hari kematiannya diperingati, hal ini tidak pernah di ajarkan
oleh para Nabi. Pandangan mereka bahwa umat Muslim telah mencampur adukan
ajaran agama Islam dengan agama Hindu.
Dalam
Lughotul Hadits, mereka memaknainya
bahwa para sahabat, sanak keluarga berkumpul di rumah ahli mayit (rumah duka)
dan membuatkan makanan dan mereka makan secara bersama-sama (selametan kenduri) termasuk dari bagian
meratap. Dalam ajaran Islam meratap terhadap orang yang telah meninggal
merupakan dosa besar dan haram hukumnya. Apabila keluarga orang yang meninggal
membuat makanan untuk orang banyak maka itu satu hal yang dibenci (haram),
karena akan menambah kekusahan diatas musibah mereka dan menyibukkan mereka
diatas kesibukkan mereka. Dalam Hadits
Jarir oleh Syaikh Ahmad Abdurrahman Al-Banna diakhir syarahnya menjelaskan
bahwa orang yang berkumpul di rumah duka dengan alasan ta’ziyah dan menyediakan makanan yang banyak untuk mereka merupakan
pemborosan harta dan itu menambah musibah bagi mereka yang di tinggalkan. Hal
yang diseharusnya dilakukan adalah para penta’ziah
ini membawa makanan untuk mereka sehingga mengenyangkan mereka.
Dari
ajaran kedua agama Buddha dan agama Islam sangat bertolak belakang. Bila
dihubungkan dengan tradisi peringatan kematian di Jawa setelah kematian, dalam
agama Buddha sangat mendukung peringatan itu dengan memberikan persembahan
makanan kepada sanak keluarga dan kerabat yang telah datang untuk berdoa
bersama, dan kebajikan dipersembahkan atas nama almarhum dengan tujuan agar
almarhum dapat terlahir di alam yang bahagia. Namun sebaliknya dalam ajaran
agama Islam bahwa orang-orang yang datang untuk mendoakan almarhum, dan pihak
keluarga mempersembahkan makanan dan minuman justru itu di haramkan karena
meyusahkan dan pemborosan harta. Justru yang disarankan adalah orang yang
datang kerumah duka dengan membawa makanan bagi mereka.
Tradisi
lokal merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat, namun apabila tradisi
tersebut dikaitkan dengan agama atau keyakinan yang dipercayai masyarakat daerah
itu, apabila tradisi itu tidak sesuai dengan ajaran agama yang diyakini maka
lama-lama tradisi itu akan bergeser ataupun akan hilang. Tradisi lokal adalah
salah satu identitas sebuah masyarakat, apabila tradisi ini hilang, maka
identitas budaya lokal pun akan punah. Seharusnya agama dan budaya tidak
dicampur adukan, agama dan budaya merupakan hal yang berbeda namun dapat di
hubungkan. Apabila budaya tidak dapat menyatu dengan agama, maka tidak harus
memaksakan menyatukan atau meniadakan suatu budaya itu. Nenek moyang lebih tahu
tentang budaya yang mereka ciptakan, budaya bukan hanya sekedar kebiasaan,
namun itu pasti memiliki makna tertentu dan itu perlu dilestarikan.
Referensi