Jumat, 09 Januari 2015

Pertemuan Budaya Lokal dan Agama



Peringatan Kematian Adat Jawa Dipandang dari Segi Agama
Oleh: Sepilut
Setelah mengalami kehidupan pasti tidak terlepas dari kematian. Kematian adalah akhir dari kehidupan, ketiadaan nyawa, dalam organisme biologis. Semua makhluk hidup akan mati, baik karena penyebab alami seperti penyakit, atau karena penyebab tidak alami seperti kecelakaan. Pada dasarnya kehidupan itu tidak ada yang kekal, itu merupakan hukum alam yang terjadi pada mahkluk yang pernah mengalami kehidupan.
Setelah kematian, sebagai keluarga tentunya memberikan doa kepada yang telah meninggal agar dalam kehidupan yang selanjutnya menemukan kebahagian. Dalam tradisi orang Jawa dikenal dengan istilah sedekah dengan perhitungan hari nelung dina, pitung dina, patang puluh dina, nyatus, mendak pisan, mendak pinda, dan nyewu, merupakan peringatan kematian orang yang telah meninggal. Tradisi ini dilakukan secara turun temurun, karena tradisi ini merupakan warisan dari nenek moyang. Anggapan orang Jawa, jika tradisi ini tidak dilakukan menyebabkan arwah nenek moyang akan marah dan memberikan kutukan kepada masyarakat apabila tidak melaksanakan slametan. Maka, tradisi ini harus dilakukan dan  di lestarikan dan ini merupakan budaya lokal bagi orang Jawa.
Dalam tradisi peringatan kematian ini biasa dinamakan selametan atau sedekah. Selametan diadakan di rumah orang yang telah meninggal, tujuannya adalah memberikan doa kepada orang yang telah meninggal dan orang yang ditinggalkan agar selalu diberikan keselamatan. Selametan upacara kematian atau sedekah meliputi sedekah nelung dina yaitu dilakukan setelah tiga hari kematian, mitung dina yaitu setelah tujuh hari kematian, sedekah matang puluh dina yaitu peringatan kematian setelah empat puluh hari, sedekah nyatus atau seratus harinya, sedekah mendak pisan atau peringatan setahun setelah kematian, mendak pinda atau peringatan dua tahun setelah kematian. Peringatan sedekah yang terakhir dinamakan sedekah nyewu atau peringatan seribu hari setelah kematian atau biasa disebut nguwisi-nguwisi, karena ini merupakan peringatan yang terakhir.
Ritual selametan ini ada acara yang dinamakan kenduri atau kondangan. Kondangan merupakan perjamuan makanan untuk memperingati peristiwa, meminta keselamatan, dan pembacaan doa yang dipimpin oleh seorang modin. Kondangan ini biasa disertai dengan membakar kemenyan atau dupa. Selain itu ada beberapa makanan yang dihidangkan bagi peserta kondangan yang disebut berkat. Berkat ini biasanya ditaruh dalam ceting yang isinya ada nasi, ikan, mie, telur dan ayam. Berkat ini dibagikan kepada peserta selametan sebagai ucapan terima kasih karena telah mendoakan keluarga yang mengadakan selametan maupun orang yang telah meninggal.
Tidak hanya melaksanakan kondangan pada saat peringatan kematian, namun ada juga penyiapan sesajen atau biasa di sebut among. Among adalah persembahan makanan bagi leluhur yang telah meninggal. Makanan ini berupa nasi, ikan, atau makanan yang biasa di sukai oleh leluhur, kopi pahit dan air putih yang ditaruh dalam kendi serta bunga yang dinamakan kembang mboreh. Orang Jawa mempercayai bahwa pada peringatan kematian atau sedekah, arwah orang yang meninggal ini akan pulang ke rumah dan meminta makan, maka harus disiapkan makanan.
Seiring dengan majunya kehidupan agama dalam kehidupan masyarakat Jawa, tradisi peringatan kematian ini dihubungankan dengan agama. Agama memang berpengaruh, karena dalam ritual selametan ini dengan membacakan doa sesuai dengan agama yang diyakini pihak keluarga dan almarhum/almarhumah. Dengan mengetahui tradisi yang biasa dilakukan oleh orang Jawa mengenai peringatan kematian, memberikan pengertian kepada masyarakat luas bahwa orang yang telah meninggal itu perlu diingat, dan selalu di doakan agar mereka dapat menjalani kehidupan selanjutnya dengan bahagia.
Orang yang telah meninggal itu jasmaninya lah yang telah hancur, namun jiwanya itu masih tetap ada. Pandangan ini tentu dipercayai oleh semua agama. Dalam agama Buddha percaya bahwa orang yang telah meninggal akan terlahir di kehidupan selanjutnya entah itu menjadi hewan, setan, manusia, ataupun di alam surga. Agama Islam dan Kristen percaya bahwa ada dua alam setelah kematian yaitu surga dan neraka. Sebagai keluarga yang telah ditinggalkan pada kehidupannya sekarang, maka perlu memperingati hari-hari kematian untuk memberikan penghormatan serta mendoakan agar para almarhum maupun almarhumah dapat menjalani kehidupan yang lebih bahagia di alamnya masing-masing. Tentu tradisi yang dilakukan oleh orang Jawa ini sangat baik, dan perlu dilestarikan agar tradisi ini tidak punah di masa yang akan datang.
Dalam pandangan berbagai agama tentang peringatan hari kematian sangat berbeda-beda. Agama Buddha sangat mendukung adanya peringatan hari kematian, karena ini merupakan bentuk penghormatan bagi leluhur, dan mengkondisikan mereka dapat terlahir di alam yang lebih bahagia. Sedangkan agama Islam sangat menentang tradisi ini, karena dalam Kitab Suci Al-Quran tidak dituliskan tentang peringatan kematian, dan tradisi ini bukan merupakan ajaran kebenaran melainkan ajaran kebatilan. Setiap agama tentu punya pedoman dan alasan masing-masing dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Maka itu perlu kaji lebih dalam mengenai pandangan hari peringatan kematian dari setiap masing-masing agama.
Agama Buddha merupakan agama yang tertua di Indonesia, dan agama yang paling sedikit atau minoritas di Indonesia. Namun ajaran Sang Buddha sangat erat kaitannya dengan tradisi orang Jawa, khususnya peringatan hari kematian. Dalam agama Buddha memperingati kematian dinamakan pattidana atau pelimpahan jasa. Pelimpahan jasa adalah melakukan suatu perbuatan baik atas nama orang yang telah meninggal yang akan di tolong. Pelimpahan jasa ini dilakukan dengan mengundang rekan-rekan maupun kerabat alamarhum/almarhumah untuk membacakan paritta. Kemudian mempersembahkan makanan dan minuman kepada orang-orang yang telah membacakan paritta atas nama almarhum/almarhumah. Pelimpahan jasa juga dapat mengundang para bhikkhu, dan mempersembahkan makanan, minuman serta jubah, kemudian melakukan pelimpahan jasa atas nama almarhum/almarhumah. Pelimpahan jasa ini tidak harus dilaksanakan pada saat hari-hari yang ditentukan, namun bisa dilakukan setiap saat dengan merenungkan segala kebajikan yang diperoleh yang ditujukan kepada para leluhur agar mereka dapat mengingat perbuatan baik mereka sehingga mereka dapat terlahir di alam yang lebih bahagia.
Ada dua cerita yang melatarbelakangi adanya pattidana atau pelimpahan jasa dalam agama Buddha. Yang pertama adalah cerita dari Bhikkhu Moggalana yang menjadi siswa utama Sang Buddha, beliau bermeditasi melihat ke segenap alam untuk melihat ibunya, kemudian beliau melihat ibunya di alam setan kelaparan dengan kondisi yang menyedihkan kurus kering dan telanjang bulat. Beliau menolong ibunya dengan mencoba memberikan makanan dan minuman, namun itu malah menambah penderitaan ibunya. Akhirnya beliau bertanya kepada Sang Buddha mengenai hal ini, kemudian Sang Buddha menjawab untuk menolong makhluk yang seperti ini hendaknya orang melakukannya dengan melakukan pelimpahan jasa. Sang Buddha menyarankan untuk memberikan persembahan jubah dan dana makanan kepada para Bhikkhu Sangha atas nama ibunya, dan Bhikkhu Moggalana melaksanakan nasehat Sang Buddha melakukan pelimpahan jasa atas nama ibunya. Setelah melakukan pelimpahan jasa, beliau bermeditasi untuk melihat keadaan ibunya  dan beliau melihat ibunya sekarang lebih baik dari yang sebelumnya kelihatan segar dan memakai pakaian bagus, rapi, dan bersih.
Cerita kedua berasal dari seorang raja bernama Bimbisara. Raja Bimbisara ini orang nya sangat baik, sering berdana makanan, maupun mempersembahkan  jubah kepada Sangha, namun beliau tidak pernah melakukan pelimpahan jasa kepada para leluhurnya. Pada suatu malam raja Bimbisara memperoleh banyak gangguan dari makhluk halus, beliau mendengar jeritan dan tangisan yang membuat beliau tidak dapat tidur semalaman. Keesokan harinya raja Bimbisara pergi ke vihara untuk menemui sang Buddha dan bertanya tentang kejadian yang dialaminya yang telah diganggu oleh makhluk halus padahal dia sering melakukan perbuatan baik. Sang Buddha menjelaskan bahwa makhluk halus yang mengganggunya merupakan sanak keluarganya di kehidupan lalu, karena mereka telah melakukan kesalahan maka mereka terlahir di alam menderita setan kelaparan. Sang Buddha menyarankan agar raja Bimbisara mengundang para bhikkhu Sangha untuk datang ke istana, dan membacakan paritta untuk para leluhur, dan raja mempersembahkan dana makanan serta mempersembahkan jubah kepada para bhikkhu Sangha atas nama leluhurnya yang telah lama menderita karena kelaparan. Raja Bimbisara melaksanakan nasehat dari Sang Buddha. Para makhluk yang menderita itu merasakan kebahagiaan yang luar biasa, kebahagiaan inilah yang menyebabkan mereka mati dari alam menderita dan terlahir kembali di alam bahagia.
Dari cerita kisah tersebut maka Sang Buddha membabarkan Tirokuddha Sutta. Sang Buddha bersabda bahwa di dinding-dinding, di gerbang-gerbang, dipersimpangan-persimpangan jalan, banyak sanak keluarga yang terlahir di alam menderita menunggu kebaikan hati keluarganya. Mereka menanti pelimpahan jasa dengan penuh kesedihan. Sanak keluarga dapat menolong mereka dengan melakukan pelimpahan jasa kepada para leluhur, mengingat kebajikan yang telah dilakukan, mempersembahkan makanan dan minuman kepada mereka. Walaupun mereka tidak dapat makan dan minum secara langsung, namun itu sebagi bentuk penghormatan kepada mereka.
Tradisi peringatan kematian bagi umat Muslim di Jawa masih dilakukan. Namun ada beberapa orang yang melarang tradisi peringatan kematian tersebut. Tentu ada alasan yang mendasari mengapa kegiatan peringatan kematian tidak boleh dilakukan. Ritual keagamaan di dalam masyarakat muslim ketika terjadi kematian dengan menyelenggarakan selametan kematian/kenduri kematian/tahlilan/yasinan di hari ke pertama kematian, 3, 40, 100, dan 1000 harinya merupakan bukan amalan dari Al Quran, Hadits (sunah rasul) dan Ijma Sahabat, melainkan itu merupakan ajaran agama Hindu. Mereka menjelaskan bahwa awalnya ritual peringatan kematian merupakan berasal dari ajaran agama Hindu, dan orang Islam pada zaman dahulu memasukkan ajaran-ajaran Islam dicampur dalam ritual ini dengan menyusun rangkaian wirid-wirid dan doa-doa serta pembacaan Surat Yasin kepada orang yang telah meninggal pada saat setelah hari kematian hari ke-3, 7, 40, 100, 1000 hari hingga setiap hari kematiannya diperingati, hal ini tidak pernah di ajarkan oleh para Nabi. Pandangan mereka bahwa umat Muslim telah mencampur adukan ajaran agama Islam dengan agama Hindu.
Dalam Lughotul Hadits, mereka memaknainya bahwa para sahabat, sanak keluarga berkumpul di rumah ahli mayit (rumah duka) dan membuatkan makanan dan mereka makan secara bersama-sama (selametan kenduri) termasuk dari bagian meratap. Dalam ajaran Islam meratap terhadap orang yang telah meninggal merupakan dosa besar dan haram hukumnya. Apabila keluarga orang yang meninggal membuat makanan untuk orang banyak maka itu satu hal yang dibenci (haram), karena akan menambah kekusahan diatas musibah mereka dan menyibukkan mereka diatas kesibukkan mereka. Dalam Hadits Jarir oleh Syaikh Ahmad Abdurrahman Al-Banna diakhir syarahnya menjelaskan bahwa orang yang berkumpul di rumah duka dengan alasan ta’ziyah dan menyediakan makanan yang banyak untuk mereka merupakan pemborosan harta dan itu menambah musibah bagi mereka yang di tinggalkan. Hal yang diseharusnya dilakukan adalah para penta’ziah ini membawa makanan untuk mereka sehingga mengenyangkan mereka.
Dari ajaran kedua agama Buddha dan agama Islam sangat bertolak belakang. Bila dihubungkan dengan tradisi peringatan kematian di Jawa setelah kematian, dalam agama Buddha sangat mendukung peringatan itu dengan memberikan persembahan makanan kepada sanak keluarga dan kerabat yang telah datang untuk berdoa bersama, dan kebajikan dipersembahkan atas nama almarhum dengan tujuan agar almarhum dapat terlahir di alam yang bahagia. Namun sebaliknya dalam ajaran agama Islam bahwa orang-orang yang datang untuk mendoakan almarhum, dan pihak keluarga mempersembahkan makanan dan minuman justru itu di haramkan karena meyusahkan dan pemborosan harta. Justru yang disarankan adalah orang yang datang kerumah duka dengan membawa makanan bagi mereka.
Tradisi lokal merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat, namun apabila tradisi tersebut dikaitkan dengan agama atau keyakinan yang dipercayai masyarakat daerah itu, apabila tradisi itu tidak sesuai dengan ajaran agama yang diyakini maka lama-lama tradisi itu akan bergeser ataupun akan hilang. Tradisi lokal adalah salah satu identitas sebuah masyarakat, apabila tradisi ini hilang, maka identitas budaya lokal pun akan punah. Seharusnya agama dan budaya tidak dicampur adukan, agama dan budaya merupakan hal yang berbeda namun dapat di hubungkan. Apabila budaya tidak dapat menyatu dengan agama, maka tidak harus memaksakan menyatukan atau meniadakan suatu budaya itu. Nenek moyang lebih tahu tentang budaya yang mereka ciptakan, budaya bukan hanya sekedar kebiasaan, namun itu pasti memiliki makna tertentu dan itu perlu dilestarikan.

Referensi
Herly, Deny Novi. 2014. “ ACARA/RITUAL PERINGATAN KEMATIAN 7, 40, 100, 1000 HARI. Diakses di https://www.facebook.com/notes/deny-novi-herly/acara-ritual-peringatan-kematian-7-40-100-1000-hari-dst/298158193686812 pada hari Jumat tanggal 9 Januari 2015 pukul 11.15 WIB
Uttamo. 2008. “ Manfaat Pelimpahan Jasa ”. diakses di www.samaggi-phala.or.id/dok/dhamma3_8.doc pada hari Jumat tanggal 9 Januari 2015 pukul 11.02 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar