Selasa, 18 November 2014

Buddhisme dan Modernisasi



Strategi dan Teknologi Informasi
dalam Pembabaran Dhamma
Pendahuluan
Seiring dengan perkembangan zaman banyak terjadi pembaharuan dari tingkah laku masyarakat terutama dengan teknologi informasi. Teknologi informasi merupakan sebuah kebutuhan baru bagi masyarakat luas. Tanpa mengetahui teknologi informasi dapat dikatakan sebagai masyarakat yang ketinggalan zaman dan cenderung lebih suka menutup diri. Zaman modern yang semakin mudah untuk melakukan segala sesuatu melalui teknologi informasi menuntut masyarakat untuk hidup sesuai dengan perkembangan teknologi informasi. Bukti bahwa teknologi informasi berkembang sangat cepat adalah sekarang anak-anak sekolah dasar pun sudah dapat mengakses internet, memiliki handphone, ipad, dan sebagainya.
Dalam kehidupan sehari-hari teknologi informasi sangat dibutuhkan untuk memudahkan segala bentuk kegiatan yang dilakukan. Dengan teknologi  informasi dapat di akses lebih cepat dan lebih mudah pula untuk menyampaikan informasi. Salah satunya adalah metode pembabaran Dhamma dengan media interaktif ( dalam bentuk powerpoint, gambar, video ) maupun lewat sosial media ( facebook, twitter, blog ). Hal ini akan memudahkan seorang dharmadhuta atau penceramah untuk membabarkan Dhamma dengan bantuan-bantuan point-point yang sudah di tuliskan, dan juga memudahkan pula seorang pendengar mencerna informasi yang disampaikan, serta membuat tidak merasa bosan karena tidak hanya mendengarkan namun juga melihat. Salah satu vihara yang sudah menerapkan metode ini adalah vihara di daerah Serpong yaitu Vihara Siripada rata-rata mengundang penceramah yang sudah menggunakan media interaktif untuk berceramah. Menyampaikan pesan-pesan melalui sosial media juga sangat baik, karena semua masyarakat khususnya umat Buddha sudah banyak yang menggunakan sosial media sebagai sumber pencarian informasi.
Di lain pihak tidak semua penceramah menggunakan teknologi informasi sebagai media pendukung untuk membabarkan Dhamma. Mereka masih menggunakan metode ceramah dengan bahasa yang berbelit-belit, yang membuat orang merasa bosan, mengantuk, dan apa yang disampaikan tidak dapat diterima.
Beda generasi yang menyebabkan hal ini terjadi. Bila kelahirannya di bawah tahun 70-an maka menjadi orang yang kurang mengerti teknologi informasi, namun apabila lahir sekitar 80-an ke atas dapat dikatakan mereka yang sudah mengerti teknologi informasi.  Sebagai pendengar yang terdiri banyak orang memiliki tingkat pemahaman yang berbeda-beda. Seperti halnya dengan gaya belajar setiap orang berbeda-beda ada yang auditori, verbal, dan kinestetik. Gaya belajar ini yang mempengaruhi tingkat pemahaman setiap orang berbeda-beda. Dengan berceramah saja akan menguntungkan yang suka mendengarkan, namun juga semua tidak seperti itu malah justru banyak yang mengantuk. Dengan menggunakan media yang interaktif diharapkan pendengar tidak bosan dan pesan yang di sampaikan dapat dipahami.
Pembahasan
Sebelum membahas lebih dalam mengenai teknologi informasi sebagai media pembabaran Dhamma, perlu diketahui apa yang sebenarnya dimaksud dengan teknologi informasi. Menurut Abdul Kadir (2003: 2) mengatakan bahwa “ teknologi informasi baik secara implisit maupun eksplisit tidak sekedar berupa teknologi komputer, tetapi juga mencakup teknologi telekomunikasi. Dengan kata lain, yang disebut teknologi informasi adalah gabungan antara teknologi komputer dan teknologi komunikasi.” Hal ini dijelaskan bahwa teknologi informasi merupakan suatu gabungan antara teknologi komputer dan teknologi komunikasi. Teknologi komputer adalah seperangkat peralatan yang digunakan untuk mengubah data menjadi suatu informasi yang dapat menjadi bahan dalam pengambilan keputusan. Data-data yang dapat diolah oleh perangkat komputer dapat berupa angka maupun gambar. Sedangkan teknologi komunikasi adalah teknologi yang berupa komunikasi yang berhubungan dengan jarak jauh ( misalnya telepon, radio, dan televisi). Komputer dapat mengolah data menjadi informasi seperti komunikasi lisan maupun tulisan, dan dengan komputer pula hal itu dapat diakses. Jadi teknologi komputer dan teknologi komunikasi adalah hal yang tidak dapat dipisahkan. Dengan hal ini seorang penceramah diharapkan dapat mengoperasikan teknologi komputer untuk membuat media yang diperlukan untuk berceramah.
Setelah mengetahui apa itu teknologi informasi, juga diperlukan suatu strategi pengajaran atau teknik untuk membabarkan Dhamma. Pembabaran Dhamma juga perlu mengunakan strategi, karena kebanyakan orang dengan model-model ceramah yang monoton akan membuat pendengarnya merasa bosan dan apa pesan yang ingin disampaikan itu tidak dapat di serap, tidak sesuai dengan yang diharapkan. Hal yang harus diketahui dari penceramah adalah pendengarnya itu anak-anak, remaja, dewasa, atau manula. Dengan mengetahui hal ini seorang penceramah mampu memilih tema ceramah yang disesuaikan dengan usia dan karakter dari setiap pendengar. Seorang pengajar Tom Barwood (2011: 25) menyimpulkan bahwa cara seseorang menerima materi yang diperoleh yaitu yang pertama mencatat bagaimana cara memasukkan informasi, kedua menyimpan bagaimana membuat informasi melekat, ketiga mengingat bagaimana memastikan bisa mengingat informasi ketika di butuhkan. Dari hal ini sudah jelas bahwa materi yang disampaikan perlu dicatat, disimpan, dan diingat. Apabila materi yang disampaikan saja sulit dipahami, membuat bosan dan mengantuk bagaimana bisa orang yang mendengarkan ini akan mencatat, menyimpan, dan mengingatnya. Mengajarkan Dhamma bukan hanya dengan berceramah saja, namun seorang penceramah sekreatif mungkin menyampaikan Dhamma itu dengan sederhana namun mengenai pokok pembahasannya.
Sang Buddha sendiri mengajarkan tentang hal-hal yang perlu diperhatikan untuk membabarkan Dhamma. Dalam Anggutara Nikaya III, 184 bahwa pembabaran Dhamma hendaknya :
1.  Diterangkan selangkah demi selangkah, tidak meloncat-loncat atau menyingkat bagian-bagian sehingga akan mengurangi artinya.
2.  Diberikan alasan-alasan sehingga membuat pendengar atau pembaca mengerti.
3.  Didasari metta (cinta kasih), sehingga memiliki harapan semoga para pendengar atau pembaca dapat memetik faedah pembabaran Dhamma tersebut.
4.  Tidak bertujuan untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri.
5.  Tidak sambil memuji diri sendiri dan merendahkan orang lain.
Dalam hal ini sudah sangat jelas bahwa membabarkan Dhamma itu harus menggunakan strategi dan memperhatikan hal-hal di atas agar pokok ajaran yang disampaikan itu mudah untuk diterima oleh pendengar atau pembaca. Setelah pendengar mengetahui inti dari ajaran-ajaran yang disampaikan itu diharapkan orang yang mendengarkan mendapatkan inspirasi dan mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pembabaran Dhamma dihubungkan dengan teknologi informasi akan lebih mudah untuk mengakses informasi atau Dhamma yang disampaikan lebih menarik. Seorang penceramah harus mengetahui tentang teknologi informasi, karena zaman sekarang teknologi informasi itu sangat penting dan dibutuhkan. Apabila seorang seorang penceramah tidak mengkreasikan bahan ceramahnya dengan menggunakan teknologi informasi maka dapat dikatakan ceramahnya dalam bahasa kerennya garing. Maksudnya ceramahnya tidak enak untu didengar, monoton, membuat mengantuk. Sebaiknya ketika berceramah itu didukung dengan teknologi komunikasi misalnya dalam bentuk powerpoint, gambar-gambar, video, maupun menulis yang berhubungan dengan Dhamma dan di publikasikan di sosial media. Dalam kenyataannya ada sebagian penceramah menerapkan hal ini dan memberikan manfaat, ketika pendengar mendengarkan ceramah tidak mengantuk, justru lebih antusias dan rata-rata orang zaman sekarang sudah menggunakan sosial media sebagai sumber informasi sehingga sangat efektif apabila teknologi informasi digunakan sebagai media pembabaran Dhamma.

Penutup
Membabarkan Dhamma tidak hanya dengan ceramah, namun harus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Apabila membabarkan Dhamma dengan berceramah saja akan membuat pendengar merasa bosan dan mengantuk sehingga apa yang disampaikan tidak dipahami atau mengerti oleh pendengar. Pemanfaatan teknologi informasi sebagai media pendukung pembabaran Dhamma sangat diperlukan untuk membantu proses pembabaran Dhamma. Penggunaanya meliputi powerpoint, gambar-gambar, video, maupun melalui sosial media. Hal ini cukup dikatakan efisien untuk mempermudah penyampain Dhamma.
Alangkah baiknya para penceramah yang belum menggunakan teknologi informasi sebagai media yang membantunya, segera mencari informasi mengenai teknologi informasi dan mempelajarinya. Setelah itu mempraktekkan membabarkan Dhamma teknologi informasi sebagai medianya. Pembabaran Dhamma yang tidak monoton berceramah saja sekarang yang lebih di senangi oleh masyarakat sekarang.
Daftar Pustaka
Barwood, Tom. 2011. Strategi Belajar. Erlangga: Jakarta
Kadir, Abdul dan Terra CH. Triwahyuni. 2003. Pengenalan Teknologi Informasi. Penerbit Andi:Yogyakarta
Samaggi Phala ( Y.M. Uttamo Thera). Cara Menbabarkan Dhamma, diakses di http://www.buddhistonline.com/tanya/td154.shtml pada tanggal  18 November 2014

Minggu, 02 November 2014

Pendidikan Daerah: Pati Bagian Utara



Pendidikan merupakan penentu kepribadian, karakter, moral, dan majunya suatu bangsa. Proses pendidikan berawal dari belum bisa menjadi bisa, dari belum tahu menjadi tahu baik itu kearah positif maupun negatif. Hal ini ditunjukan dengan dari pendidikan anak kecil yang pada saat lahir tidak dapat bicara, berjalan dan tidak dapat melakukan aktivitas-aktivitas karena mereka mendapatkan pendidikan dari orang tua maka mereka dapat melakukan semuanya.
Pendidikan yang paling utama pembentukan karakter adalah pendidikan dari keluarga, namun pendidikan yang selanjutnya yang tidak kalah pentingnya bagi kehidupan adalah pendidikan di sekolah. Pendidikan di sekolah adalah pendidikan yang mencakup berbagai bentuk pendidikan dari ilmu pengetahun, budi pekerti, spiritual, pembentukan karakter, keterampilan dan sebagainya. Pendidikan di sekolah tidak terlepas dari pola pendidikan, kurikulum pendidikan, sistem pendidikan, karena hal-hal inilah yang digunakan sebagai pedoman atau cara melakukan pembelajaran agar mencapai tujuan yang diharapkan.
Pendidikan di perkotaan dan daerah menggunakan kurikulum yang sama yang diperlakukan nasional di negara Indonesia ini, namun pola pendidikan, metode pendidikan, dan sistem pendidikannya yang berbeda. Hal ini disebabkan tingkat pemahaman atau mengartikan apa yang dimaksudkan tujuan kurikulum yang diterapkan bagi suatu daerah itu berbeda-beda. Di daerah perkotaan lebih mudah mendapatkan informasi di bandingkan dengan daerah, sehingga mereka lebih memahami maksud dan tujuan kurikulum yang diperlakukan pada saat itu.
Pendidikan di daerah rata-rata dari golongan keluarga menengah kebawah, bahkan kebanyakan dari keluarga yang kurang mampu. Sehingga perkembangan pendidikan di daerah juga setinggi kemampuan perekonomian rata-rata masyarakat di daerah itu. Pendidikan di daerahpun hanya sebatas pendidikan sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas yang jumlahnya masih relatif sedikit, perguruan tinggi pun ada namun kualitas pendidikannya pun tak sebagus dengan perguruan tinggi di kota.
Salah satu contoh pendidikan di daerah kabupaten Pati, provinsi Jawa Tengah, khususnya di daerah Pati bagian utara yang menjadi daerah pesisir dan pegunungan. Di Pati kota, pendidikannya sudah lebih maju dan berkembang ketimbang di daerah bagian utara, karena sudah banyak terdapat sekolah unggulan, lulusannya banyak yang diterima di perguruan tinggi yang bagus, dan siswanya pun banyak yang dari luar daerah Pati. Banyak pula perguruan tinggi dari berbagai jenis pendidikan seperti kesehatan, TIK, dan agama.
Pendidikan di daerah Pati bagian utara masih mengikuti pola pendidikan, metode pendidikan, serta sistem pendidikan yang terdahulu walaupun sudah ada kurikulum baru. Rata-rata guru di daerah ini adalah guru-guru yang sudah tua yang melakukan pembelajaran mash seperti zamannya dulu dan tidak dapat mengikuti perkembangan zaman. Mereka mengajar dengan sistem mencatat buku sampai habis, atau menjelaskan materi sambil dibacakan dari buku. Cara ini menyebabkan kurangnya pemahaman siswa terhadap materi yang disampaikan karena kurangnya penjelasan yang mendetail terhadap apa maksud materi yang di sampaikan. Masih ada guru yang galak dan disiplin adalah guru yang paling ditakuti oleh siswa.
Pembagian jurusan terkadang juga tidak sesuai dengan kemampuan siswa, waktu tes IQ cocoknya di IPS, namun pada saat penjurusan dimasukkan ke IPA. Pembagian kelas pun tidak sama rata, khusus anak-anak yang pintar di jadikan satu kelas, misalnya kelas A dan B, kemudian kelas selanjutnya biasa-biasa saja. Hal ini menyebabkan kesenjangan hasil belajar, anak-anak yang pintar akan semakin pintar dan anak-anak yang biasa tidak akan pernah berkembang. Anak-anak yang pintar akan menjadi sorotan karena prestasinya bagi guru-guru dan setiap kegiatan akan mengandalkan merekan, dan anak-anak yang biasa saja menjadi sorotan kenakalannya dan guru tidak memberikan kesempatan mereka untuk melakukan kegiatan misalnya perlombaan. Dengan pemilihan sepihak inilah yang akan mengkerdilkan kemampuan anak-anak yang biasa saja.
Kemajuan sekolah di daerah ini juga ditentukan oleh peraturan atau kebijakan dari pihak sekolah itu sendiri. Pihak guru maupun kepala sekolah memiliki kekuasaan yang paling tinggi, dan para siswa harus menuruti apa saja aturan yang ditetapkan pihak sekolah dan siswa tidak dapat menyampaikan aspirasi mereka. Di sisi lain kepala sekolah yang menjadi pimpinan tertinggi di sekolah itu menjadi contoh atau panutan bagi perkembangan dan kemajuan sekolah tersebut. Salah satu contohnya di salah satu SMA negeri memiliki kepala sekolah yang sangat disiplin, rapi, peduli dengan lingkungan, dan mampu memberikan contoh terhadap yang lain, sekolah itu menjadi maju dan setiap ada perlombaan mendapatkan yang terbaik. Pada saat pergantian kepala sekolah, kepala sekolahnya ini tidak dapat memberikan contoh yang baik, sekolah ini semakin menurun kualitasnya.
Telah diketahui bahwa pendidikan di Indonesia ini diatur dengan kurikulum yang diperlakukan secara nasional. Dari contoh pendidikan di daerah dan di kota jelas memiliki kualitas pendidikan yang berbeda, karena pemahaman tentang maksud kurikulum itu berbeda. Di daerah pola, metode,dan sistem pembelajaran masih sangat sederhana di bandingkan dengan di kota yang lebih maju, namun standar pendidikannya diseragamkan. Informasi-informasi juga lebih gampang didapat di kota daripada daerah karena terhambat oleh kondisi jarak dengan pusat informan serta kurangnya sosialisasi di daerah. Hal ini menimbulkan kesenjangan pendidikan, yang di kota menjadi semakin baik, dan di daerah semakin buruk.
Semua sekolah pasti menginginkan sekolahnya menjadi sekolah yang baik, sekolah yang maju dan sekolah yang menghasilkan siswa-siswa yang pintar. Namun mereka memiliki kendala kurangnya pengalaman dan pemahaman mereka terhadap pola, metode, dan sistem pendidikan seperti apa yang membuat keberhasilan suatu pendidikan. Pihak sekolah dapat mengakalinya dengan cara yang curang, misalnya pada saat ujian nasional memberikan bocoran jawaban kepada siswanya agar semua siswa dapat mengerjakan dan lulus semua. Apabila siswanya banyak yang tidak lulus maka akan menurunkan nilai jual bagi sekolah tersebut, serta menunjukan bahwa pendidikan di daerah pun bisa berhasil seperti apa yang ada di kota.
Dari permasalahan berawal dari kurikulum yang di berlakukan di seluruh wilayah Indonesia, padahal setiap daerah ini memiliki karakter yang berbeda-beda. Dengan pemaksaan seperti ini akan menyebabkan kecurangan-kecurangan yang menimbulkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Saran yang dapat di sampaikan adalah seharusnya setiap daerah memiliki kurikulum yang berbeda yang disesuaikan dengan daerahnya masing-masing namun masih menggunakan pedoman acuan yang ditetapkan secara nasional. Dengan bertujuan untuk menyetarakan pendidikan di Indonesia agar tidak terjadi kesenjangan.